Lajnah Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Jepara

Gambar; Gedung NU Jepara, Kampus INISNU, STIENU dan STTDNU Jepara

Sabtu, 20 November 2010

Perguruan Tinggi NU harus Merubah Orientasi Programnya

Selain memiliki pesantren yang jumlahnya mencapai 12.000 buah, NU juga memiliki ratusan perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, bahkan sebagian  menyatu dengan pesantren yang ada di dalamnya. Sebagian besar perguruan tingginya memfokuskan diri pada program studi agama islam
Tidak seperti pesantren NU yang dapat berkembang dengan pesat, perguruan tinggi NU saat ini perannya kurang menonjol, bahkan terpinggirkan dibandingkan dengan perguruan tinggi.
Rektor Universitas Sunan Giri Surabaya Prof Dr. Bisri Effendi MA yang ditemui NU Online mengatakan bahwa jika perguruan tinggi NU ingin diminati oleh masyarakat, maka program-programnya harus berupa program praktis yang dapat diaplikasikan  dalam kehidupan sehari-hari karena saat ini kecenderungan masyarakat adalah program-program seperti itu. “Perguruan Tinggi NU harus menangkap fenomena ini jika ingin berkembang,” ungkapnya.
Berbeda dengan perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta pendanaannya sangat tergantung pada jumlah mahasiswa yang masuk. Oleh karena itu program-program yang ditawarkan PT tersebut harus dapat benar-benar menarik calon mahasiswa sehingga bisa mencukupi biaya operasionalnya, atau pada ditinggalkan dan kolaps.
Bahkan sistem pengajaran di Unsuri pun menggunakan sistem partispatoris yang melibatkan mahasiswa dalam penyusunan paket program pengajaran. “Hal ini bisa dilakukan karena sebagian besar mahasiswa Unsuri adalah mereka yang sudah bekerja,”
Bisri Effendi mengemukakan bahwa hal lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh dana adalah dengan membuat paket program terpadu. “Salah satu keberhasilan Unsuri adalah membuat program penelitian terpadu yang mencakup administrasi, bimbingan, sekaligus penelitiannya yang mampu menghasilkan cukup banyak dana ” tambahnya.
Dia juga menegaskan bahwa sebagai perguruan tinggi NU mereka tetap harus mengembangkan karekter ke-NU-an yang pluralis dan toleran.
Madrasah dan pesantren pun tak lepas dari sorotannya. Harus diakui bahwa saat ini kurikulum mereka kurang menantang sehingga harus diberi tambahan-tambahan program ketrampilan seperti komputer, bahasa Inggris, dan bahasa Arab atau ketrampilan lainnya untuk kesiapan mereka dalam masyarakat.(mkf)

Model Konvergensi untuk Atasi Masalah Pendidikan di Lingkungan NU

Pengembangan model konvergensi merupakan jawaban bagi nahdliyyin dan kaum muslimin di banyak tempat untuk mengatasi pengaruh pendidikan model Barat yang hanya berorientasi nalar kognitif.
Demikian dituturkan oleh Ketua Yayasan Perguruan Tinggi NU (YPTNU) Abdul Aziz MA dalam halaqah pendidikan dan pelepasan mahasiswa lulusan program akta IV Sabtu (4/8) di gedung PBNU.
Dijelaskan oleh Aziz dalam sejarahnya, terdapat tiga model pendidikan yang ada di Indonesia. Model pertama adalah pendidikan yang berientasi nalar keagamaan dan olah rohani seperti pesantren diniyah dan ma’had aly. Model kedua adalah sekolah yang berientasi nalar kognitif dan ketrampilan kerja jasmaniyah seperti sekolah dan universitas sedangkan yang ketiga merupakan model konvergensi atau penggabungan dari model pertama dan kedua.
Sebelum Indonesia lahir, muslim nusantara hanya mengenal model pesantren dan sejenisnya sedangkan pendidikan sekolah diperkenalkan oleh Belanda. “Karena latar belakang sejarah dan alasan-alasan cultural, warga NU sampai sekarang lebih banyak mengembangkan model pendidikan pesantren dan sejenisnya, termasuk STAINU,” paparnya.
Sayangnya dalam UU Sisdiknas, lembaga pendidikan seperti ini dianggap sebagai pendidikan pelengkap dan menempatkan sistem sekolahan sebagai arus utama. Namun demikian, dalam upaya mengejar ketertinggalan iptek, transformasi menuju model konvergensi tersebut masih dimungkinkan.
“Perlu diingat bahwa sejumlah universitas terkenal di Amerika seperti Harvard, Yale dan Princenton adalah bekas sekolah-sekolah seminari sebelum menjadi yang seperti sekarang ini,” tandasnya.
Dalam hal ini, bisa dibentuk pesantren teknologi yang didalamnya selain mempelajari agama, juga berupaya mengembangkan teknologi baru untuk kemaslahatan ummat. “Riset di Barat merupakan kolaborasi dengan pemilik modal untuk kepentingan pasar sehingga sepenuhnya untuk kepentingan bisnis,” jelasnya.
Belakangan ini, memang sudah banyak warga NU yang berinisiatif membangun universitas, sayangnya masih bekerja sendiri-sendiri, bahkan cenderung berkompetisi daripada bertaawun. Aziz juga berharap NU segera memiliki konsep pendidikan tingginya. (mkf)

Ospek Dinilai Tidak Mendidik

Ospek sebagai bentuk perpeloncoan mahasiswa baru di kampus dinilai tidak lagi mendidik dan sudah sepatutnya ditinggalkan, karena hanya menimbulkan kekerasan dan tidak menonjolkan sisi edukatif bagi mahasiswa. Isilah para calon pemimpin itu dengan hal-hal yang bermanfaat, sebagai bekal memasuki dunia kampus.
Pernyataan ini diungkapkan ketua PB PMII, Hasan Basri Sagala dalam kesempatan bincang-bincang kepada NU Online, Sabtu, (28/8). Menurutnya kegiatan Ospek seringkali hanya berhenti sebagai ajang "balas dendam" senior kepada juniornya dengan alasan mempersiapkan mental calon mahasiswa di kampus, padahal banyak hal lain yang bisa dilakukan dengan menonjolkan sisi edukasi bagi calon mahasiswa, tanpa harus mengedapankan aspek fisik. "Harus dikedepankan paradigma baru Ospek tanpa kekerasan," ujarnya.
Adanya gejala ospek sebagai gejala kanalisasi kekerasan itu, lanjut Hasan Basri disebabkan oleh kurang tepatnya pengelolaan dan manajemen pendidikan. Kekerasan sebagai agresi dengan basis kekuasaan malah semakin merebak dengan buruknya kekuasaan itu. Dari sisi psikologis, memang pada usia mahasiswa terjadi luapan energi yang memerlukan kanalisasi.
Apalagi ada faktor historis di mana mahasiswa sebagai salah satu elemen penting dalam perkembangan politik Indonesia. Karena itu, mahasiswa juga membutuhkan kaderisasi dalam rangka gerakan kemahasiswaan. "Namun terkadang mahasiswa bergerak tanpa konsep. Padahal, saat-saat orientasi memang penting bagi mahasiswa baru," ulasnya.
Seperti diketahui, setiap kali masa pelaksanaan Ospek digelar diperguruan tinggi selalu ada saja korban, bukan hanya luka-luka bahkan sampai meninggal dunia. Baru-baru ini Wulandari, mahasiswa baru Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin (UNHAS)Makasar meniggal dunia di dalam kamar kostnya. Ditengarai, ia kelelahan sehabis mengikuti Ospek, dan penyakit jantungnya kambuh. Saat mengikuti Ospek, Wulandari memang kerap terjatuh dan tak sadarkan diri, namun saat itu, ia tetap mengikuti Ospek.
Hal yang sama juga dialami Nur Elida Tracyawati, mahasiswa baru Fakultas Teknik, Jurusan Geologi. Eli meniggal dunia saat mengikuti Bina Akrab, kegiatan yang masih rangkaian dari Ospek pada tahun 1999. Eli yang saat itu diharuskan untuk berjalan jauh, tiba-tiba kelelahan dan penyakit asmanya kambuh.
Pada tahun ajaran 2002/2003, seorang mahasiswa baru Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Undip, Cecilia Puji Rahayu, meninggal dunia di tengah masa perpeloncoan di Fakultas Peternakan Undip yang diberi nama Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik). Tidak jelas apa penyebab utama kematian Cecilia, yang jelas kasus tersebut menjadi lembaran hitam dalam sejarah Undip. Hingga hebohnya kasus meninggalnya Wahyu Hidayat mahasiswa STPDN Bandung.
Menurut mahasiswa pasca sarjana UI ini, pengenalan sekolah/kampus sebenarnya dapat dilakukan dengan cara friendly dan lebih humanis, tidak perlu dengan kekerasan seperti zaman kolonial. Kalau memang untuk perkenalan senior dengan yunior, tidak perlu lewat ospek. "Secara radikal, saya menganggap solusi yang paling tepat adalah menghentikannya," kata Hasan. Lagi pula, kampus, sebagai tempat pencerahan logika, mestinya memelopori gerakan antikekerasan.
Kemudian ketika ditanya apa solusi alternatifnya jika belum bisa dihentikan. Hasan mengatakan salah satu bentuk yang mendekati ideal adalah melakukan aktivitas fisik yang berbentuk permainan seperti outbond. Dalam bentuk ini, instruktur mengawasi dan diawasi serta tahu apa yang harus dilakukan. "Kedisiplinan toh tidak harus ditanamkan dengan cara-cara hukuman atau lebih berbau militeristik," imbuhnya mengakhiri pembicaraan. (cih)

BEM Perguruan Tinggi NU Desak Pemerintah Bubarkan IPDN

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) se-Indonesia mendesak pemerintah untuk segera membubarkan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Desakan itu muncul menyusul tewasnya seorang praja IPDN Cliff Muntu di kampusnya di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (2/4) lalu.
“Kejadian ini bukan yang pertama kali. Masa ada lembaga pendidikan yang berulang-ulang kali menewaskan anak didiknya? Pemerintah harus segera membubarkan IPDN agar tidak terulang lagi,” tegas Ahmad Dzakiri, Presiden Mahasiswa BEM Sekolah Tinggi Agama Islam NU, kepada wartawan usai pembukaan Musyawarah Nasional BEM PTNU se-Nusantara di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (4/4)
Dzakiri menambahkan, berulang-ulangnya kejadian tewasnya praja di lembaga pendidikan yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) itu, semakin menguatkan dugaan akan adanya kekerasan fisik pada siswanya. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah mengambil sikap tegas.
Jika tidak, lanjutnya, institut yang bertujuan mencetak para birokrat itu, tak akan banyak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini. Bukan tidak mungkin di masa mendatang akan ada lagi kejadian serupa jika pemerintah tidak tegas. “Kalau nggak gitu, nanti pasti makan korban lagi,” tandasnya.
Selain itu, menurut Dzakiri, BEM PTNU se-Indonesia meminta kepada Rektor IPDN agar tidak menutup-nutupi penyebab kematian Cliff berikut indikasi adanya kekerasan fisik di dalam penyelenggaraan pendidikan di lembaga tersebut. "Kasus ini jangan ditutup-tutupi. Karena sekarang ada kesan ditutup-tutupi,” ujarnya.
Tak hanya itu. BEM PTNU se-Indonesia yang akan menggelar Musyawarah Nasional pada 5-8 April mendatang itu juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mengaudit pimpinan dan dosen perguruan tinggi yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri itu. "Dosen dan pemimpin harus dievaluasi dan diaudit. Apa betul mereka lakukan pembinaan kepada praja," kata Dzakiri.
Ke depan, tambah Dzakiri, IPDN harus dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga pendidikan harus diawasi oleh satu pintu yaitu Depdiknas. "Tidak ada lagi dikelola departemen selain Depdiknas," tandasnya.
Cliff Muntu, praja madya, ditemukan tewas di kampus IPDN tepatnya di Barak DKI atas, Senin (2/4) malam. Awalnya pihak IPDN membantah Cliff meninggal akibat tindak kekerasan. Namun belakangan ada informasi yang menyatakan Cliff tewas akibat dianiaya para seniornya.
Tewasnya Cliff bukan kejadian satu-satunya. Sejak 1990-an hingga 2005 tercatat 35 praja tewas. Namun dari total praja yang tewas, hanya 10 kasus saja yang terungkap di media massa. (rif)

NU Tolak Komersialisasi Pendidikan

Nahdlatul Ulama (NU) melalui Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU menolak adanya komersialisasi pendidikan di Indonesia. Hal ini akan ditegaskan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Muskernas) ke-2 Asosiasi Perguruan Tinggi NU (APTINU) di Semarang, Ahad-Selasa (8-11/9).
Komersialisasi pendidikan dinilai telah menjadikan pendidikan Indonesia kehilangan arah. “Masuk Jurusan tertentu harus membayar uang puluhan juta bahkan ratusan juta," kata Sekretaris PP LP Ma'arif Aceng Abdul Aziz di Semarang, Sabtu (8/9), di sela-sela persiapan Muskernas ke-2 APTINU.
Komersialisasi pendidikan muncul sejak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berubah fungsi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan hal ini diperkuat dengan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang masih dalam pembahasan. RUU BHP ini dipersoalkan karena mengancam keberadaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
“Regulasi yang dibuat Pemerintah seyogyanya bagaimana mendorong PTS agar terus meningkatkan kualitas yang baik dengan biaya yang murah. Mestinya yang dikomersialkan adalah lulusannya, tetapi jangan dalam proses pembelajarannya,” kata Aceng.
“Seringkali pemerintah ketika membuat regulasi ada hal dirugikan. Karenanya sebelum terlanjur dilaksanakan, pemerintah harus melibatkan berbagai pihak, diantaranya dengan APTINU,” tambahnya.
Muskernas ke-2 APTINU akan diadakan di Hotel Pandanaran Semarang. Selain Soal BHP Muskernas juga akan membahas tentang pelaksanaan sertifikasi guru-dosen bagi PTS, serta akreditasi perguruan tinggi. Muskernas ini akan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia.(her)

Komisi Pendidikan Tinggi Untuk Cetak Ilmuwan NU

Guna mencetak ilmuwan NU yang kredible dan meningkatkan mutu perguruan tinggi milik NU, PWNU Jateng membentuk Komisi Pendidikan Tinggi. Struktur ini di luar kepengurusan inti PWNU Sehingga bisa bekerja optimal tanpa harus menerima komando dari Ketua PWNU.

“Meski ada Asosiasi Perguruan Tinggi NU, tapi Komisi ini akan efektif meningkatkan kualitas perguruan tinggi NU dan mahasiswanya,” ungkap Ketua PWNU Jateng Moh. Adnan kepada NU Online usai membuka Konfercab NU Brebes di Ponpes Modern Al Falah Sofwaniyah Desa Jatirokeh Kec. Songgom Brebes Sabtu Malam (26/7).

Adnan percaya, lewat komisi tersebut bisa mensejajarkan perguruan tinggi NU dengan PT lainnya. “Sementara banyak pihak yang memandang PT NU dengan sebelah mata, kalau tidak dibilang mencibir. Dengan Komisi ini, paradigma tersebut dalam waktu dekat akan berubah,” harapnya penuh yakin..

LP Maarif, kata Adnan, agar berkonsentrasi pada pendidikan dasar, menengah dan atas. sehingga floating ini bisa lebih berkonsentrasi. Selain itu, jaringan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) makin diperkuat dengan dibentuknya Asosiasi SMK NU. “Dengan input yang bermutu, diharap output-nyapun akan tinggi pula kualitasnya,” ujar Adnan.

Untuk madrasah, PWNU Jateng menjalin kerjasama dengan Yayasan Anyaman Kasih dari Jepang yang akan mengkemas madrasah-madrasah NU agar lebih representatif. ”Keprihatinan yayasan terhadap madrasah NU, menggerakan mereka untuk memberdayakannya,” ujar Adnan yang pernah mengenyam pendidikan di egeri Sakura itu.

Sedang untuk peningkatan wawasan bagi ibu-ibu pengantar di TK Muslimat, Adnan akan memberikan sumbangan buku bacaan tentang ke-NU-an secara berkala dan terus menerus.

“Sangat disayangkan, Anak-anaknya belajar soal NU, Ibu pendampingnya buta soal NU. Jadi kami berikan buku soal ke-NU-an,” ucapnya.

Pencetakan SDM lainnya, dengan memberi peluang seluas-luasnya kepada anak muda NU untuk belajar dengan pembiayaan beasiswa. Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) misalnya, telah konsen pada pemberian beasiswa. “Bagi mahasiswa bahkan diupayakan beasiswa hingga ke luar negeri,” tuturnya lagi.

Program selanjutnya, Adnan akan memberdayakan petani NU. Kalau Lembaga Pengembangan Pertanian (LP2NU) berkonsentrasi pada lembaga-lembaga pertanian, periode ini akan langsung bersentuhan dengan petani dengan mengembangkan benih unggul padi untuk pertanian pantai. “Kalau nelayan tidak bisa melaut, maka bisa bercocok tanam padi unggul ini, sehingga tidak sampai jatuh miskin,” ungkapnya.

Tentu, program tersebut diimbangi dengan penerapan teknologi sederhana dan proyeksikan di pantai yang tidak terkena abrasi. “Sebagai pilot project, akan dikembangkan di Kab. Pekalongan,” tuturnya.

Pengembangan bibit unggul ini, memang diperioritaskan ke daerah pantai. Tapi kalau ditanam di daerah subut juga akan lebih baik. Bila ditanam di pantai perbandingannya bila di pantai menghasilkan 40% maka keuntungan menanam dipersawahan umum bisa mencapai 70%.

Menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden, Adnan kembali menyerahkan pada politik pribadi warga NU.“Kalau pribadi nahdliyin atau pengurus NU mempunyai kesempatan di politik kekuasaan tidak perlu ragu. Tapi harus dalam niatan amar maruf nahi mungkar membela ahlusunah wal jamaah,” ujarnya.

Dimana ada kesempatan memperluas jaringan, dipersilahkan tapi jangan membawa organisasi..Namun  justru harus berbuat untuk organisasi. “Makanya kepada nahdliyyin, untuk melihat figur orang NU nya saja. Jangan lihat partainya,” pungkas Adnan. (was)

Kualitas, Persoalan Utama Pendidikan NU

Ketua PCNU Jember, KH. Muhyiddin Abdusshomad mengajak warga NU (Nahdliyyin) untuk bersama-sama memikirkan pendidikan NU. Pasalnya, secara umum pendidikan NU masih tertinggal. Ketertinggalan itu bisa dilihat dari banyaknya kader NU yang tingkat pendidikannya masih rendah maupun sekolah-sekolah NU yang sepi peminat.

“Kita harus berjuang bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan NU,” tukasnya saat memberikan wejangan (tausiyah) dalam acara Halalbihalal Keluarga Besar Universitas Islam Jember (UIJ) di aula UIJ, Ahad (19/10).

Menurutnya, pendidikan memang menjadi persoalan utama umat Islam Indonesia. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah warga Nahdliyyin, maka merekalah yang jelas mengalami ketertinggalan pendidikan.

“Tapi kita jangan berkecil hati, asalkan betul-betul berusaha, insya Allah (kita) bisa. Mudah-mudahan UIJ bisa memulai,” jelasnya seraya menyebut beberap perguruan tinggi NU patut dibanggakan, misalnya Unisma Malang.

Peningkatan kualitas pendidikan, tandas penulis beberapa buku itu, adalah suatu keniscayaan dalam menghadapi persaingan pendidikan yang semakin ketat. Jika kualitas sebuah lembaga pendidikan bagus, "ia pasti dicari orang di manapun ia berada."

“Seperti mutiara, walaupun berada di dasar laut, tapi orang tetap mencarinya. Sebaliknyha, meski ada di pinggir jalan, tapi kalau hanya batu biasa, orang tak akan menghiraukannya,” tutur KH. Muhyiddin.
  
Sementara itu, Ketua Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama (YPNU), Drs. H. Soekamto Irhamuddin, SH., M.Hum., dalam sambutannya, menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya (UIJ) sepenuhnya akan menjadikan NU sebagai basis berpijaknya dalam proses pengembangan diri.

Pihaknya juga menyatakan, bagi UIJ, NU adalah jantung dan denyut nadinya. Sehingga semua kebijakan harus dikonsultasikan kepada NU.

“Namun untuk soal pengembangan, kami lebih mengikuti manajemen modern,” tukasnya (ary).

Kiprah NU pada Pendidikan Tinggi Masih Kurang

Kendati Nahdlatul Ulama merupakan organisasi massa Islam yang terbesar di tanah air, namun ternyata dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan tinggi kiprah NU tidak sebesar organisasinya.
Demikian disampaikan Dirjen Pendidikan Islam Prof Dr Muhammad Ali pada Roundtable Discussion PP LP Ma’arif NU di Jakarta, Kamis (29/11) malam. Dalam kesempatan itu hadir Ketua PP LP Maa'rif Dr Thoyib IM dan pimpinan universitas serta sekolah tinggi di lingkungan NU.
Menurut Dirjen Muhammad Ali, NU sebetulnya memiliki potensi yang luar biasa. “Selama ini, NU punya kekayaan tapi tidak terurus. Tanah dimana-mana, tapi agak lalai. Mungkin ini mencerminkan tabiatnya orang baik sehingga menganggap semua orang itu baik, padahal satu per satu diambil orang,” katanya
Potensi lain, lanjut Ali, NU merupakan organisasi yang paling luwes. Karena  mampu menyeimbangkan antara muhafadlah  dengan akhdzu, atau menjaga nilai-nilai lama yang baik serta menggali nilai baru yang lebih baik.
“Sebab agar tidak terjadi cultural shock, sebagaimana dikemukakan Neisbit. Maka siapapun harus melakukan adaptasi. NU pada kondisi apapun bisa beradaptasi,” ujar mantan Dekan Fakultas Pendidikan UPI Bandung ini.
Menurut dia, perguruan tinggi yang baik adalah yang perguruan tinggi yang berkarakter, memiliki kemandirian dan kerjasama dengan berbagai pihak. Selain itu mampu menjaga citra perguruan di mata masyarakat. “Sebab  kalau sudah terpuruk susah bangunnya,” imbuhnya.
Dikatakan pula, di provinsi Jawa Barat sekarang ini terdapat 800 perguruan tinggi swasta, tapi secara keseluruhan jumlah mahasiswanya hanya 15.000 orang. Jadi rata-rata satu perguruan tinggi itu hanya memiliki tidak sampai dari 200 mahasiswa. “Perguruan tinggi NU diharapkan jangan seperti itu,” ujarnya.
Sementara itu Sekretaris PP LP Ma’arif, Aceng Abdul Azis mengatakan, saat ini di lingkungan NU terdapat 74 perguruan tinggi, kurang lebih 11 PT yang secara eksplisit memakai nama NU. Secara umum kondisi PT di lingkungan NU masih jauh tertinggal, meskipun sebagian dinilai sejajar bahkan lebih baik.
“Perlu dibangun kerjasama dengan Departemen Agama untuk mendorong PT di lingkungan NU agar dapat sejajar dengan PT-PT yang lain,” kata Aceng. Pada acara bertema “Perumusan grand desain pengembangan perguruan tinggi di lingkungan NU dan pemetaan potensinya”, terungkap keinginan untuk melakukan realisasi pendirian Universitas NU di Jakarta. (kas)

Dakwah Kampus Perlu Ditingkatkan

Di jaman yang semakin maju ini, metode dan medan dakwah harus semakin dikembangkan, sebab tantangan yang dihadapi juga sudah berbeda. Jika dulu yang dihadapi masyarakat desa, sekarang sudah semakin kompleks.
“Ada dampak negatif internet, narkoba, dunia intertaint, dugem, dan lain sebagainya. Karena itu, “Metode dakwah sekarang harus dikemas lebih baik lagi,” kata Dr H Mahmud Mustain, MSc, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur kepada NU Online di Surabaya, Selasa (25/12).
Alumnus Universitas Newcastel Upon-Tyne dan Leceister Inggris itu menyatakan hal itu, karena saat ini serangan “perusak mental” datang dengan sangat deras. Bahkan seakan datang dari segala arah, dengan sistem yang sudah tertata rapi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi kalau karakter remaja Indonesia diubah oleh media.
“Kita sekarang ini dalam kondisi kewalahan, sebab sarana pembangun masih belum sebanding dengan sarana perusaknya,” tegas dosen Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu. “Kita sekarang ini masih dalam posisi defensif, belum menyerang. Padahal sebaik-baik pertahanan adalah menyerang,” tegas alumnus Pesantren Langitan itu.
Oleh karenanya, ia menginginkan agar semua pihak melebarkan sarana dakwahnya. Jika pada masa lalu masih hanya menggunakan masjid dan pesantren, saat ini sudah perlu ditambahkan lagi dengan kampus dan institusi-institusi pemerintah. Sebab keduanya bernilai sangat strategis. Kampus adalah tempat calon-calon pemimpin negara di masa depan. Sedangkan institusi negara memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar.
Sebagai kader NU, ia mengharapkan agar induknya mau lebih serius menggarap lahan dakwah di kampus itu. Caranya dengan memberikan konsep yang menarik untuk dibaca kalangan akademisi. Lebih riil lagi menginstruksikan agar semua Pengurus Wilayah segera membentuk ISNU di wilayah masing-masing sampai di tingkat Pengurus Cabang. Sebab sampai saat ini belum semua Pengurus Wilayah mempunyai ISNU.
“Ini sangat penting, sebab disadari atau tidak, sarjana-sarjana NU itu semakin banyak jumlahnya,” tegas Mahmud.
Karenanya ia sangat mendukung apabila NU semakin menggalakkan pendirian komisariat-komisariat IPNU dan PMII di kampus-kampus, atau di sekolah-sekolah dekat perguruan tinggi. “Mereka perlu terus di-support agar semakin besar dan bisa mewarnai,” harap keponakan KH Abdullah Faqih itu.
Dalam menghadapi dunia modern seperti sekarang, kaum intelektual layak dilibatkan dalam kancah dakwah. Sebab masyarakat yang dihadapi juga masyarakat intelektual. Biasanya mereka lebih banyak menggunakan rasio dalam mengambil sikap. Karenanya metode dakwah saat ini perlu dikemas lebih rapi, misalnya dengan memadukan intelektual dan keimanan, agar bisa menembus ke scientific mereka.
“Dalam hal ini NU yang paling berpeluang besar, yang lain susah, sebab di NU ada karamah, dan sebagainya. Yang lain tidak ada,” tandas Mahmud memberi semangat. (sbh)

Hasyim: Lembaga Pendidikan Nahdliyyin Perlu Dilabeli "NU"



Bogor,
Lembaga pendidikan yang dikelola oleh warga Nahdliyyin perlu diberi label "Nahdlatul Ulama" untuk menunjukkan eksistensi pendidikan NU kepada publik, karena selama ini prestasi NU di bidang pendidikan formal kurang diakui.

Demikian dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi saat meresmikan bangunan Gedung Kampus I Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta di Kemang, Bogor, Senin (28/1). Selain sebagai tempat perkuliahan, gedung itu akan difungsikan sebagai pusat pengkajian agama dan peradaban.

Dikatakan Kiai Hasyim, sekolah-sekolah atau madrasah dan perguruan tinggi yang dikelola oleh kepengurusan NU atau yayasan yang dikelola oleh warga Nahdliyyin jarang sekali diberi label "NU". Akibatnya prestasi NU di bidang pendidikan formal kurang menonjol.

"Saya kadang bingung kalau ditanya orang luar mana sekolah NU, ya saya jawab saja pokoknya yang tidak ada label Muhammadiyah ya itu NU," kata Kiai Hasyim bergurau.

"Kalau pesantren sih tidak harus dilabeli NU karena memang pesantren lebih dulu ada dibanding NU dan sudah dengan sendirinya identik dengan NU. Namun untuk sekolah atau madrasah saya harapkan dikasih nama 'NU" misalnya Sekolah Menengah NU Cokroaminoto atau Madrasah Aliyah NU Wahid Hasyim," tambahnya.

Menurut Kiai Hasyim, sekolah-sekolah yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam yang lain juga merupakan inisiatif dari beberapa orang saja namun dapat ditata dengan baik dalam satu sistem keorganisasian.

Ketua Yayasan Perguruan Tingi Nahdlatul Ulama Drs. H. Abdul Aziz, MA. menambahkan, lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU lebih banyak merupakan inisiatif dari warga Nahdliyin secara sefihak dan tidak terorganisir dengan baik dalam tata organisasi NU.

"Sekitar 12.000 madrasah/sekolah dan 80 perguruan tinggi yang dikelola di lingkungan NU dan 10.000 pesantren yang menjadi benteng NU lebih banyak merupakan inisiatif jama'ah daripada jam'iyyah," katanya.

Dengan pengorganisasian yang lebih rapi atau perbaikan manajemen pengelolaan kelembagaan, diharapkan pendidikan di lingkungan NU semakin maju dan syi'ar pendidikan NU akan lebih diakui publik.

Acara peresmian Gedung Kampus I STAINU itu dihadiri oleh sejumlah kader NU, antara lain Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU Khofifah Indar Parawansyah.

Gedung dua lantai itu dibangun di tanah seluas 620 m2 dari 2,7 ha tanah wakaf dari Lembaga Misi Islam yang dipimpin oleh H. Danial Tanjung. Pembangunan satu gedung itu telah menghabiskan biaya sekitar Rp 1,3 miliar dari total biaya keseluruhan yang diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. (nam)

NU Kembangkan Pendidikan Tinggi

Di masa mendatang, Nahdlatul Ulama (NU) tak lagi dikenal dengan pondok pesantrennya yang tersebar seantero Nusantara. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu telah memulai mengembangkan pendidikan tinggi melalui sejumlah perguruan tinggi bermutu.

Demikian disampaikan Ketua Yayasan Perguruan Tinggi NU, Abdul Azis Ahmad, dalam paparannya tentang rencana besar pengembangan pendidikan tinggi NU pada peresmian Gedung I  Sekolah Tinggi Agama Islam NU Jakarta dan Pusat Kajian Agama dan Peradaban, di Parung, Bogor, Jawa Barat Senin (28/1) siang.

Ia menjelaskan, Pengurus Besar NU berencana membangun satu universitas dengan lima fakultas dan dua sekolah tinggi agama Islam di Jawa serta satu universitas rintisan di luar Jawa. "Kita sudah mulai dengan membangun STAINU Jakarta ," katanya.

STAINU di Parung merupakan pengembangan STAINU Jakarta yang didirikan pada 2003. Kampus tersebut selama ini menempati lantai 4 dan 5 gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, dan telah meluluskan 19 orang.

Ia memaparkan, misinya pengembangan PTNU untuk mencerdaskan masyarakat melalui penguasaan dan pengembangan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Selain itu, membantu masyarakat dalam memajukan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi melalui diseminasi informasi dan berbagai jenis pelayanan pendidikan.

Pembangunan Kampus STAINU Jakarta tahap awal telah dibangun dua lantai seluas 620 meter persegi. Pembangunan tersebut menghabiskan dana Rp 1,3 milyar. Departemen Agama turut membantu biaya pembangunan tersebut sebesar Rp 1 milyar dari dana DIPA.

Tahap berikutnya, kata Azis, untuk mengoptimalkan tanah wakaf seluas 2,7 hektar, akan dibangun gedung rektorat, kampus II dan Kampus III. Kemudian, sarana dan prasarana pendukung, seperti sarana olahraga. “Total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 100 milyar," imbuh anggota Komisi Pemilihan Umum itu.

Acara itu dihadiri juga Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal M Lukman Edy, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar, Ketua PP LP Maarif NU Thoyib IM dan pewakaf tanah Danial Tanjung. (rif)

Maarif NU Berupaya Tingkatkan Kualitas Pendidikan NU

Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Walaupun masalah yang dihadapi lembaga pendidikan di lingkungan NU masih banyak, terutama kurangnya bidang disiplin yang dibutuhkan.

Ketua PP Lembaga Pendidikan Ma’arif NU DR. Thoyib, IM mengungkapkan pada jawaban pemandangan umum yang diberikan PW NU terhadap LPJ PBNU dalam Muktamar NU ke-32, Kamis (24/3). Thoyib mencontohkan, sebanyak 184 perguruan tiinggi yang tergabung di Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (APTINU), hanya 5 yang berbentuk universitas. Sisanya merupakan sekolah tinggi. Ini merupakan tantangan bagi NU bagaimana mendirikan universitas NU ke depan.

“Ironisnya lagi, hanya satu yang memiliki fakultas kedokteran, yakni Unisma. Selain itu, perguruan tinggi tersebut tidak memiliki nama universitas Nahdlatul Ulama, melainkan nama lain yang secara langsung tidak menunjukkan identitas NU,” kata Thoyib.

Menurut Thoyib, langkah yang dilakukan oleh LP Ma’arif mengenali lembaga yang berada di bawah naungan NU antara lain dengan melalui logo dan stempel. Jika logo dan stempel berlambang bintang Sembilan, maka sudah dipastikan NU. Lambang tersebut hanya dimiliki oleh warga NU. “Ke depan Ma’arif mendorong langkah-langkah yang jelas labelisasi lembaga yang berada dalam naungan Ma’arif ini,” kata Thoyib lagi.

Saat ini, terdapat sekitar 12.000 madrasah (tingkat tsanawiyah, aliyah/sederajat), 1.884 sekolah umum dari SD hingga SMA dan sejumlah SMK. Lembaga pendidikan madrasah yang berada di Ma’arif tersebut malah ada yang sudah mendapatkan prestasi ISO. “Itu menunjukkan prestasi yang bagus. Tak kalah dengan sekolah lain,” kata Thoyib.

Ditambahkan Thoyib, semua madrasah Ma’arif tersebut sudah mendapatkan bantuan yang difasilitasi Ma’arif. “Untuk memperkuat lembaga pendidikan tinggi yang tergabung di APTINU, sebaiknya pembinaannya dipisahkan dari LP Ma’arif. Sehingga pengembangan dan peningkatan perguruan tinggi NU tersebut lebih maksimal,” harap Thoyib. (arm)

LPTNU Targetkan Bangun Tiga Universitas

Lajnah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama  (LPTNU), satu perangkat baru dibawah NU yang menangani perguruan tinggi menargetkan mampu membangun tiga universitas dalam periode kepengurusan PBNU 2010-2015.

Ketua LPTNU Nur Ahmad menjelaskan, selama ini banyak daerah yang menjadi basis NU tetapi belum memiliki perguruan tinggi sendiri untuk menampung kader NU dalam meningkatkan kualitas pendidikannya.

Beberapa daerah yang masih kurang Perguruan Tinggi NU-nya adalah Sumatra, Kalimantan, Maluku, Lombok, termasuk DKI Jakarta.  “Kita targetkan perguruan tinggi pertama dibangun di Jakarta,” katanya kepada NU Online, Jum’at (25/6).

Program lain yang menjadi target adalah penguatan asosiasi provesi dosen di lingkungan NU dalam upaya meningkatkan kualitas para dosen, dengan memperkuat publikasi jurnal ilmiah.

“Kita upayakan peningkatan kualitas, salah satunya dengan mencarikan beasiswa untuk pendidikan S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri,” tambahnya.

Sejauh ini, perguruan tinggi yang berada dibawah naungan NU masih ketinggalan dengan perguruan tinggi milik komunitas lain. Karena itu, ia juga berharap agar dukungan yang diberikan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas semakin meningkat.

“Kita merupakan kesatuan masyarakat, komunitas dan bangsa, ada komunitas yang mampu mengembangkan pendidikan tingginya dan ada yang belum berhasil, kita harapkan pemerintah memberikan dukungan demi kesatuan bangsa ini,” imbuhnya.

Nur Ahmad juga menjelaskan, upaya peningkatan kualitas dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi lain yang memiliki kualitas bagus di dalam dan di luar negeri. “Kita juga melakukan advokasi terhadap perguruan tinggi NU, termasuk solidaritas antar PTNU, salah satu yang akan kita bantu adalah STAI Maarif NU Sintang yang terbakar,” imbuhnya.

Mengenai program studi yang akan dikembangkan, ia menjelaskan, ke depan, jurusan dan program studi yang dikembangkan akan lebih berorientasi pada jurusan umum seperti kedokteran, mengingat jurusan agama NU sudah memiliki banyak kader dari pesantren.

“Kekurangan kita adalah kurang memiliki banyak professional dari jurusan umum sementara bidang agama kita sudah memiliki banyak lulusan dari pesantren,” imbuhnya. (mkf)

LPTNU: NU Perlu Rumuskan Kembali Format Pendidikan

Nahdlatul ulama (NU) perlu merumuskan kembali format pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Melalui format baru diharapkan melahirkan pendidikan NU yang tetap menjaga moralitas, mengembangkan intelektual, dan interpreneur.

Ketua Lajnah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) H Noor Ahmad menyatakan, PBNU bersemangat membangun karakter melalui gerakan keilmuan. Diharapkan NU akan kembali bangkit dan tidak terombang-ambing dengan perkembangan globalisasi.

"Nahdlatul Ulama tidak akan terjebak pada sifat-sifat mandek dan mengedepankan moralitas sebagaimana ajaran kyai, bebas bicara tetapi memiliki karakter sendiri," katanya dalam acara seminar harlah NU ke 87 yang diselenggarakan PCNU Kudus di SMP Al Ma'ruf Sabtu (24/7) lalu.

Di depan ratusan aktifis dan pengurus NU itu, Noor Ahmad yang juga mantan rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang ini berharap dalam menjalankan pendidikan menerapkan  aspek epistimologi. "Kita harus mencotoh ulama dulu saat  memutuskan hukum dengan peneltian," katanya.

Mengenai pendidikan nasional secara umum, Noor Ahmad menilai problemnya pada persoalan  belum memiliki grand design yang tepat, dan masih berorientasi pada sekular. 

"Problem lain, pendidikan di Indonesia masih mengejar kebutuhan belum melalui perencanaan yang matang. Berbagai persoalan inilah akan kita sampaikan kepada menteri pendidikan dan menteri pendidikan," katanya.

Hadir dalam acara seminar ini Wakil Ketua PBNU KH As'ad Said Ali, Ketua PBNU H Marsudi Syuhud dan sejumlah kiai, aktifis jajaran syuriyah dan tanfidziah PCNU Kudus dan badan otonomnya. (adb)

NU Sumbar Rintis Perguruan Tinggi

Wakil Ketua PWNU Sumbar DR. Dasril menyebutkan, untuk menyiapkan tenaga-tenaga sarjana yang berwawasan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Sumatera Barat, PWNU Sumbar tengah merintis pendirian perguruan tinggi. Kehadiran perguruan tinggi tersebut saat ini memang sudah menjadi kebutuhan.

Dalam pertemuan penyusunan kepengurusan Lajnah Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Sumbar, Sabtu (25/9) di Padang, Dasril mengatakan, saat ini tengah diselesaikan pengurusan legalitas formal. ”Sedangkan lahan pembangunan perguruan tinggi tersebut sudah tersedia. Bahkan sudah ada bangunan tempat belajar,” tambah Dasril.

”Perguruan tinggi tersebut berada dibawah Yayasan Darul Ma’arif yang diwadahi oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sumatera Barat. Diharapkan lulusan perguruan tinggi tersebut nantinya siap pakai,” kata Dasril didampingi Wakil Ketua PWNU Sumbar Darmansyah, M.Sc.

Dikatakan Dasril, visi perguruan tinggi tersebut adalah mencetak lulusan yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan Qur’ani. ”Alasan pendirian perguruan tinggi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman. Kebangkitan NU harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan. Salah satu media dari perkembangan ilmu tersebut adalah perguruan tinggi,” kata Dasril  yang juga dosen Universitas Negeri Padang ini.

Terkait dengan tenaga pengelola dan pengajar, menurut Dasril, lebih dari cukup. Tinggal hanya mengkonsolidasikan tenaga-tenaga yang dibutuhkan. Walaupun masih berserakan, kita yakin tenaga pengelola dan pengajar memadai.

Jabatan Ketua LPTNU Sumbar dipercayakan kepada DR.Afrira Khaidir SH, MH dan sekretaris Basrial Luhni, SH, MH. Menurut Basrial Luhni, berdasarkan SK Diknas No. 034/2005, perancangan kurikulum diserahkan ke perguruan tinggi bersangkutan. Kecuali materi Bahasa Indonesia, Pancasila, Kewarganegaraan dan Agama, merupakan kurikulum wajib.

”Dengan dasar itu, kita akan upaya kurikulum yang dapat menghasilkan lulusan yang dibutuhkan masyarakat. Spesifiknya, setiap semester akan ada mata kuliah pendidikan agama. Sehingga lulusannya memiliki pemahaman keagamaan yang memadai, disamping penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Basrial menambahkan. Demikian dilaporkan Kontributor NU Online Bagindo Armaidi Tanjung dari Padang. (arm)

30 PTNU dari Indonesia Berguru ke Unisma

Sebanyak perwakilan 30 perguruan tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) dari wilayah timur Indonesia, Jum'at (1/10), kemarin berguru ke Universitas Islam Malang
(Unisma). Mereka ingin belajar pada salah satu perguruan tunggu NU terbesar ini untuk meraih status akreditasi.

Menurut wakil ketua Lajnah Perguruan Tunggi NU (LPTNU – dulu APTINU) H Masykuri Bakri; Unisma diharapkan bisa mendongkrak eksistensi PTNU di
Indonesia, terutama di kawasan Indonesia timur yang masih membutuhkan pendampingan.

“Pendampingan perlu diberikan kepada PTNU, sehingga pengalaman-pengalaman yang dimiliki Unisma bisa ditularkan kepada yang lain”, ungkapnya.

Unisma saat ini menargetkan tiga prempat program studi S1 nya bisa mencapai status “Akreditasi A”. Beberapa Program Studi yang yang berpeluang
mendapatkan status Akreditasi A, antara lain Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan bahasa Indonesia, Pendidikan
Matematika, Ekonomi, Agroteknologi, Agribisnis dan Hukum. Unisma sudah memiliki Unit Penjaminan Mutu (PJM) yang beranggotakan tenaga ahli untuk
proses akreditasi.

Sementara dari sekitar 300 PTNU di Indonesia yang sudah terakreditasi baru 60%, itupun banyak yang masih mendapatkan status akreditasi C. Padahal status akreditasi ini harus dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi. Karena output PT harus terakreditasi, jika tidak maka PT bisa dipidanakan sesuai dengan UU
No.20 Tahun 2003.

Pelatihan menuju akreditasi di Unisma dilakukan mulai dari pengisian borang, evsaluasi diri program studi, pengisian program studi dan fakultas.

“Sekarang ini proses akreditasi lebih sulit dan rumit, penilaiannyapun lebih komplit, kata” Masykuri Bakri . Melalui pelatihan ini diharapkan peserta
bisa memahami sistem pengisian boring yang baik dan benar berdasarkan realitas di masing-masing perguruan tinggi. (nam)

LPTNU Bikin Tiga Model Pengembangan Pendidikan Tinggi

Jumlah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Lanjah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) lebih dari 200 buah. Meskipun demikian, perlu kerja keras untuk membuat perguruan tinggi tersebut layak untuk dibanggakan dan bersaing dengan perguruan tinggi lain.

Ketua LPTNU Dr Nur Ahmad menjelaskan, fihaknya memiliki tiga model dalam pengembangan perguruan tinggi NU, pertama, dalam bentuk franchise atau percontohan yang sudah bagus, kemudian disebarkan ke seluruh perguruan tinggi NU sudah ada.

“Nanti ada standarisasi kurikulum, dosen, manajemen, penataan atau penggunaan lahan, dan sebagainya. Standarisasi ini terus kita tingkatkan dari waktu ke waktu sampai mencapai kualitas internasional,” katanya kepada NU Online baru-baru ini.

Konsep kedua adalah, pengembangan perguruan tinggi yang sudah ada dengan melihat kebutuhan pasar. “Perlu evaluasi program yang sudah ada untuk melihat kebutuhan pasar, kalau perlu membuka yang baru,” tuturnya.

Ketiga, membuat perguruan tinggi baru. Ini target kepengurusan NU yang sekarang. Ia menargetkan dalam lima tahun mendatang mampu membikin lima universitas baru, satu di Jakarta, dua di Sumatra dan dua di Kalimantan.

“Di Jakarta ini kita harapkan menjadi universitas baru yang besar. Insyaallah tanahnya sudah ada sehingga memudahkan kami. Kebetulan sekarang ini kami sedang menyusun kepanitiaan, tim dan proposal dan draft akademik untuk perguruan tinggi ini,” terangnya.

Jika tahapan-tahapan proses peningkatan kualitas ini bisa dilakukan secara berkelanjutan, ia yakin, perguruan tinggi NU ke depan akan menjadi perguruan tinggi modern dengan program studi sesuai kebutuhan di ASEAN.

“Kita harapkan ini akan menjadi perguruan tinggi internasional dan nasional. Internasional dalam konteks networking, pengembangan pasar dan sekaligus program studi dan kurikulumnya. Nasional sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia,” imbuhnya.

Kebutuhan SDM yang mumpuni di Indonesia sangat diperlukan mengingat banyak sumberdaya alam, tetapi belum dikelola dengan baik. Indonesia Timur merupakan daerah yang kaya, tetapi masyarakat yang terlibat didalamnya masih kecil.

“Freeport masih dikuasai asing, hutan dikuasai asing, masih ada pencurian di laut sehingga ikan dikuasai orang asing. Pertambangan di bawah laut juga belum bisa dilakukan orang Indonesia sendiri. Ini problem dan kita harapkan bisa mengarah ke sana, termasuk bagaimana menyelesaikan persoalan Indonesia di bagian barat,” katanya. (mkf)

LPTNU: Tak Boleh Mengandalkan Jurusan Agama

Jika dihitung, banyak sekali perguruan tinggi yang bernaung dibawah NU, karena jumlahnya lebih dari 200, tetapi sayangnya, sebagian besar perguruan tinggi tersebut berkonsentrasi pada program studi berbasis agama Islam.

Dr Nur Ahmad, Ketua Lajnah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) berpendapat untuk masa waktu yang akan datang, tak boleh lagi mengandalkan jurusan agama, tetapi harus mengembangkan jurusan umum yang selama ini kurang dimasuki.

“Dari pengalaman, kita agak sedikit terperangah ketika membuat program studi baru, nanti dosennya siapa. ya kita cari terus, kalau perlu kita pinjam, nanti lama-lama kita akan memiliki dari kader sendiri. Kita harus dimulai,” kata Nur Ahmad yang juga rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang ini.

Ia berpendapat, pengembangan pendidikan agama lebih baik dikonsentrasikan di pesantren saja yang selama ini telah terbukti menghasilkan kualitas lulusan yang lebih baik daripada di perguruan tinggi agama.

Ia berharap pemerintah mendukung perguruan-perguruan tinggi swasta dibawah naungan NU ini karena lulusan perguruan tinggi NU karena pasti menjadi nasonalis yang baik dengan karakter yang dipengaruhi pesantren sehingga karakter ajaran aswaja benar-benar berpengaruh dalam kehidupan bangsa.

“Orang-orang aswaja itu dinamis, tapi tak meninggalkan yang lama, tak ada kekangan, dia lepas, tetapi tetap menggunakan prinsip lama yang baik, tetapi mengambil yang baru yang lebih baik, ungkapan yang sudah seringkali kita dengar al-muhafadhatu alal qadimish Shalih wal akhdzu bil jadidil aslah, ini yang selalu kita pegang,” terangnya.

Dukungan dari pemerintah tersebut sangat penting karena sarana dan prasarana yang dimiliki saat ini masih minimal. “Mereka tak bisa dibiarkan dalam kondisi begitu-begitu saja,” tandasnya. (mkf)

LPTNU Harapkan Setiap PT Ada Pesantrennya

NU tumbuh dan berkembang melalui institusi pesantren, tetapi belakangan ini sistem pendidikan perguruan tinggi (PT) juga sudah mulai banyak dikembangkan oleh warga NU, lalu bagaimana menghubungkan keduanya.

Ketua Lajnah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Dr Nur Ahmad berharap agar perguruan tinggi yang ada sekarang mampu menggabungkan keduanya dengan membikin pesantren dalam lingkungan perguruan tinggi NU.

“Harapan saya, di setiap perguruan tinggi, ada pesantrennya, atau minimal diajarkan nilai-nilai kepesantrenan, khususnya kalau jurusan umum, diajarkan sikap ketawaduan dengan orang tua, atau dengan siapa saja sangat menghormati,” katanya.

Ia melihat sekarang sikap-sikap ketawaduan dan penghormatan terhadap orang lain sudah memudar. “Bukan berarti santri samikna waathokna (tunduk dan patuh) secara buta. Kita ya harus berkembang. Santri model seperti ini banyak, karena itu perlu ditampung, perlu ruangan untuk mengembangkan,” jelasnya.

Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang ini menyatakan, apa yang diajarkan di perguruan tinggi NU akan sangat mempengaruhi para lulusannya. Hal ini sudah dibuktikan di di Unwahas dengan para mahasiswa yang memiliki kompetensi dalam bidangnya, tetapi disisi lain, memiliki pengetahuan agama yang memadai.

“Dalam diskusi selalu menampilkan tingkat keilmuan sesuai dengan bidangnya,tapi tak lupa menyisipkan ayat-ayatnya, dan juga dalam hal penguasaan terhadap forum, itu akan sangat kelihatan sekali model penguasaan NU dan orang lain. Ada ciri khas sendiri bagaimana orang NU menguasai forum,” terangnya.

Karena itulah, perguruan tinggi NU juga harus menjadi tempat bagi warga NU yang ingin mendidik putra-putrinya belajar

“Kalau segmen pasar kita NU, ya ciri khas NU-nya harus ada, ya ini sebagai upaya untuk mempertahankan NU sebagai benteng, tetap menjaga nilai-nilai ke-NU-an, sehingga ada simbiosis mutualisme,” tandasnya.

Perguruan tinggi NU, menurutnya harus mampu mewadahi NU secara kultural. Anak orang NU dididik di perguruan tinggi NU agar keluarannya tidak mengagetkan orang NU.

Jumat, 19 November 2010

Kisah Sang Haji Batu

LPTNU Jepara
diposting dari NU Online
Haji adalah ibadah yang sering dianggap sebagai batas paripurnanya keislaman seseorang. Hal ini didasarkan pada yuresprudensi Islam yang meletakkan Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir. Maka menjadi anggapan umum bahwa setelah seseorang menunaikan ibadah haji, dia akan menjadi orang yang telah paripurna keislamannya.

Secara budaya, asumsi ini didukung oleh adanya pengakuan masyarakat atas seseorang yang telah berhaji dengan ditempatkan pada hierarki yang lebih tinggi. Pandangan ini terutama berlaku di masyarakat pedesaan yang masih menganut budaya paternalistik yang kuat, namun bukan berarti masyarakat perkotaan sudah meninggalkan budaya ini.

"Oleh karena itu, seseorang yang sudah berhaji juga hendaknya dapat menjaga diri dan kehormatannya di mata Masyarakat. Jangan sampai pulang dari Makkah malah dia menjadi 'Haji Batu," tutur Wakil Komandan Satuan Operasi Mina bidang keagamaan, Asnawi Muhammadiyah kepada NU Online, Jum'at (19/11).

Menurut Asnawi, ibadah haji yang merupakan ibadah tahunan yang besar mempunyai berbagai manfaat dan tujuan yang besar pula, yakni untuk kebaikan di dunia dan akhirat.

Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi dengan haq, kecuali hanya Allah, sesuai firman Allah, "Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan;'Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud'.” (QS. al-Hajj: 26)

Karena, siapa pun yang mendatangi Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik serta dengan ikhlas karena Allah SWT, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memastikan surga baginya. Dengan kepastian surga ini, biasanya seseorang yang telah berhaji, akan menjadi lebih baik akhlak dan peringainya.

"Dia akan menjadi lebih santun, lebih taat lebih bertaqwa dan lebih bermanfaat bagi sesamanya. Dia akan memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan lebih baik dan lebih terhormat," tutur Asnawi.

Sedangkan seseorang akan disebut sebagai "Haji Batu" jika sepulangnya dari haji, dia justru menjadi lebih buruk dari sebelum kembalinya. Seseorang yang tidak pernah bisa meninggalkan atau minimal mengurangi perilaku keburukan-keburukannya setelah kembali dari ibadah haji juga biasa disebut sebagai "Haji Batu."

"Misalnya seseorang yang sepulangnya dari ibadah haji malah menjadi rentenir atau semakin pelit kepada tetangganya, maka bisa dikatakan sebagai haji batu. Orang yang berhaji dari uang syubhat kemudian tidak bisa meninggalkan kesyubhatan bahkan malah semakin rakus dengan mengeruk keuntungan-keuntungan haram juga bisa disebut sebagai "Haji Batu."," tandas Asnawi. 

Dalam kitab-kitab sufisme lama, sebutan "Haji batu" dikarenakan seseorang yang berhaji datang dari berbagai negeri ke Kota Makkah yang penuh dengan gunung-gunung batu dan goa-goa batu. Kemudian mereka berjalan mengelilingi batu, setelah itu berlari-lari kecil di antara dua bukit batu.

Terkadang mereka berebut bergontok-gontokan untuk mencium sebuah batu. Lalu mengumpulkan dan menghitung batu-batu untuk dilemparkan kepada batu-batu. Jika salah tafsir, maka dia akan merasa beribadah kepada batu.

Jika salah tafsir, maka di otaknya hanya tersimpan memori tentang batu, dan kepalanya dipenuhi oleh batu. Lengkaplah ia disebut sebagai si kepala batu, dan hajinya pun disebut sebagai "Haji Batu."

"Kalau memang sekembalinya dari haji dia tidak menjadi lebih baik bahkan menjadi lebih buruk, ya sudah sebut saja dia sebagai haji batu," tandas Asnawi terkekeh. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)